Jumlah BPR/BPRS Terus Menyusut, Ini Penjelasan Perbarindo

JAKARTA – Menyusutnya jumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR)dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) masih menjadi sorotan dunia perbankan. Kali ini Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) angkat bicara.

Perbarindo pun menyoroti jumlah BPR terus berkurang dalam beberapa waktu terakhir, baik karena upaya konsolidasi, maupun pencabutan izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Diketahui, Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK Februari 2025, mencatat bahwa jumlah BPR mencapai 1.356 bank. Jumlah itu menyusut 37 bank dari 1.393 bank pada Februari 2024.

Ketua Umum Perbarindo, Tedy Alamsyah, menyampaikan bahwa penurunan jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) tidak semata-mata berkaitan dengan kinerja operasional.

Implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 Tahun 2024 mengenai BPR & BPRS, yang mengatur tentang penggabungan usaha dan prinsip kepemilikan tunggal (single presence policy), menurut Teddy, turut menjadi faktor signifikan.

“Konsolidasi BPR/BPRS dalam satu kepemilikan mayoritas merupakan langkah korporasi strategis dalam rangka meningkatkan daya saing industri serta memperkuat fungsi intermediasi,” ungkap Teddy, dikutip dari media Bisnis, Kamis (15/5/2025).

Inisiatif ini, menurut Teddy, juga bertujuan untuk memperluas jangkauan pelayanan kepada segmen masyarakat yang lebih luas, sekaligus menyesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing entitas BPR/BPRS.

Ia menegaskan bahwa industri BPR tetap memegang peranan penting dalam menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat Indonesia, sebagaimana tercermin dari data populasi nasabah kredit yang mencapai 4 juta dengan rata-rata nominal kredit sebesar Rp38 juta per number of account (NoA).

Dari sisi simpanan, Ia memaparkan, jumlah nasabah tabungan industri BPR mencapai sekitar 16 juta dengan rata-rata tabungan sebesar Rp3 juta, sementara jumlah nasabah deposito tercatat sekitar 800 ribu dengan rata-rata simpanan sebesar Rp160 juta per nasabah.

“BPR/BPRS secara nyata telah berkontribusi sebagai mitra dan tetap dibutuhkan oleh masyarakat kecil dalam memenuhi kebutuhan layanan keuangan di Indonesia, dengan senantiasa mengedepankan prinsip tata kelola yang baik sesuai dengan regulasi yang berlaku,” pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam konferensi pers hasil RDKB OJK yang digelar Jumat (9/5/2025), Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan, penurunan jumlah BPR dalam beberapa waktu terakhir, terjadi seiring konsolidasi perbankan, baik melalui penggabungan entitas dalam satu kepemilikan maupun pencabutan izin usaha terhadap BPR bermasalah.

Menurut Dian, konsolidasi tersebut dilakukan untuk memperkuat struktur industri BPR-BPRS.

“Termasuk penanganan terhadap bank dalam status resolusi,” ujar Dian.

Dian menjelaskan, kinerja industri BPR dan BPRS per Maret 2025 tercatat tetap tumbuh positif, dan tidak terpengaruh oleh menyusutnya jumlah BPR.

Pertumbuhan ini ditopang oleh peningkatan pada sisi aset, penyaluran kredit, dan dana pihak ketiga (DPK). Fungsi intermediasi dan likuiditas juga tetap terjaga, dengan rasio permodalan yang masih berada di atas ambang batas regulasi.

Ia juga mengatakan, rasio kredit bermasalah (NPL) pada industri BPR masih dipengaruhi oleh efek lanjutan (scarring effect) dari pandemi Covid-19.

“Terutama terhadap nasabah individu dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di daerah yang menjadi fokus utama BPR,” jelasnya.

Karena itu, kata Dian, OJK terus melakukan pembenahan regulasi sesuai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dalam rangka memperkuat industri. 

Selain itu, Dian menambahkan, OJK juga telah menerbitkan beberapa regulasi untuk mendorong perbaikan tata kelola dan manajemen risiko BPR-BPRS, antara lain POJK No. 9 Tahun 2024 serta SEOJK No. 12 dan SEOJK No. 03 Tahun 2024.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut bahwa tren penurunan jumlah BPR/BPRS masih akan berlanjut pada tahun ini. OJK telah mencabut izin usaha 20 BPR/BPRS pada 2024 dan satu BPR hingga Mei 2025.

“Hal ini seiring dengan pelaksanaan konsolidasi BPR yang berada dalam kepemilikan yang sama melalui penggabungan atau peleburan usaha, atau adanya pencabutan izin usaha karena masuk dalam status bank dalam resolusi,” katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Jumat (9/5/2025).

Kendati tak memerinci angka, Dian menyebut kinerja industri BPR dan BPRS tercatat tetap tumbuh positif pada Maret 2025, ditopang oleh peningkatan pada sisi aset, penyaluran kredit, dan dana pihak ketiga (DPK).

Fungsi intermediasi dan likuiditas industri BPR juga disebutnya tetap terjaga, dengan rasio permodalan yang masih berada di atas ambang batas regulasi. Adapun, SPI OJK juga mencatat bahwa penyaluran kredit BPR mencapai Rp150,99 triliun pada bulan kedua tahun ini, tumbuh 6,19% secara tahunan (year on year/YoY) dari Rp142,19 triliun.

Namun, kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) membengkak dari 10,55% pada Februari 2024 menjadi 11,84% pada Februari 2025. Nominal kredit nonlancar menanjak 19,27% YoY menjadi Rp17,88 triliun, dari sebelumnya Rp14,99 triliun.

Di sisi lain, DPK yang dihimpun industri BPR mencapai Rp143,87 triliun per Februari 2025, naik 4,28% YoY dari Rp137,96 triliun. Total aset BPR naik 5,03% YoY dari Rp193,93 triliun menjadi Rp203,69 triliun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *