SEPUTARBANK, JAKARTA – Perkataan Presiden Jokowi terkait Presiden dan Wakil Presiden dibolehkan berkampanye dalam pemilu dibenarkan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra.
Menurutnya, undang-undang Pemilu sekarang telah membolehkan Presiden dan Wakil Presiden turun berkampanye Pemilu, baik dalam Pilpres maupun Pileg. Ini tertuang dalam ketentuan pasal 280 UU Pemilu.
”Yang tidak boleh berkampanye hanya beberapa pejabat negara seperti Ketua dan Para Hakim Agung, Ketua dan Para Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan seterusnya,” terangnya.
Dijelaskan Yusril, di dalam Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu secara tegas menyatakan hak seorang Presiden dan Wakil Presiden untuk melaksanakan kampanye. Sedangkan Pasal 281 UU itu mengatur syarat-syarat pejabat negara dan Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkampanye antara lain harus cuti di luar tanggungan negara dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
”Presiden dan wakil Presiden dibolehkan berkampanye untuk dirinya sebagai petahana, memberikan dukungan kepada pilihanya serta kepada para partai politik peserta pemilu. UU tidak mengatur Presiden dan wakil Presiden harus netral ataupun tidak boleh memihak. . Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,” ungkapnya.
Keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tidak bisa dibandingkan dengan Bung Karno dalam Pemilu 1955. Waktu itu kita menganut sistem Parlementer. Sebagai Kepala Negara, Bung Karno harus berdiri di atas semua golongan. Bung Karno tidak memikul tanggung jawab sebagai Kepala Pemerintahan yang ada pada Perdana Menteri Burhanudin Harahap waktu itu. Wapres Hatta juga mengambil sikap netral dalam Pemilu 1955.
”Jadi kalau ada pihak-pihak yang menghendaki Presiden harus netral tidak boleh kampanye dan memihak, maka jabatan Presiden mestinya hanya 1 periode agar dia tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan kedua. Itu memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula UU Pemilu harus diubah kalau Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Jokowi tidak salah jika dia mengatakan Presiden boleh kampanye dan memihak,” kata Yusril.
Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini menjelaskan bila kata “tidak etis” kalau Presiden kampanye dan memihak dalam Pemilu. Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan undang-undang Pemilu.
”Perlu dibedakan bila “etis” dimaknai sebagai “code of conduct” dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Penegakannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan seperti MKMK atau Dewan Kehormatan Peradi,” ujarnya.
Bila persoalanya sampai sekarang kode etik sebagai “code of conduct” jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang belum ada. Sebab itu, kalau seseorang berbicata etis dan tidak etis, umumnya berbicara sesuatu menurut ukurannya sendiri. Bahkan orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja, sudah dianggap tidak etis.
”Jika dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing2,” tutup Yusril.
(Pipin sumber Release)