LPS sebut Tahun Ini Hingga 23 Mei, 143 BPR/BPRS Dilikuidasi

JAKARTA – Sejak tahun 2005 hingga 23 Mei 2025, terdapat 143 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah ( BPRS) yang dilikuidasi, dengan rincian 128 BPR dan 15 BPRS.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, sebanyak 122 BPR/BPRS yang terdiri dadi 111 BPR dan 11 BPRS, telah diselesaikan likuidasinya. Sehingga saat ini terdapat 20 bank dalam proses likuidasi.

“Sejak LPS beroperasi tahun 2005 hingga 23 Mei 2025 bank yang dilikuidasi sebanyak 143 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Dengan rincian 128 BPR dan 15 BPRS,” kata Purbaya.

Tantangan utama BPR saat ini yang menjadi perhatian LPS, Purbaya menerangkan, adalah adanya persaingan yang ketat di era digital serta tata kelola yang belum memadai antara kualitas pelaporan kepada regulator yang masih perlu ditingkatkan serta masih banyaknya kasus indikasi tipibank yang berdampak pada kegagalan BPR.

Menurut dia, penguatan sumber saya manusia (SDM) di industri BPR/BPRS melalui pembuatan platform pembelajaran digital, menggunakan learning management system (LMS) melalui materi mengenai tata kelola regulasi perbankan, manajemen risiko.

Selain itu, untuk penguatan BPR/BPRS ini, LPS juga bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk menyelenggarakan pelatihan sertifikasi profesi bidang BPR.

Soal target pertumbuhan ekonomi 8 persen, masih menurut Purbaya, itu bukanlah hal yang mustahil. Ia menyinggung salah satu ajaran Sumitro, yang hari ini penting untuk diterapkan adalah menjaga kemerataan, di mana mendorong peran swasta dalam berbagai kegiatan ekonomi sembari menjalankan intervensi pemerintah dengan meluncurkan program pro rakyat.

Kata dia, dengan dua mesin yang berjalan seiring seirama tersebut, maka akan menghasilkan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik.

“Kemerataan akan menjunjung stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Keseimbangan pembangunan antara mesin fiskal dan mesin swasta. Kalau itu dijalankan harusnya tumbuh 8 persen eggak susah-susah amat,” katanya.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, dikatakannya, sangat penting jika Indonesia ingin keluar dari status negara berpendapatan menengah dan menjadi negara maju.

Setelah mampu mencapai pertumbuhan 8 persen, Indonesia bisa menargetkan pertumbuhan ekonomi double digit, yakni mencapai 10 persen. Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia harus keluar dari status negara berpendapatan rendah dengan mengoptimalkan sektor industri.

“Mau tidak mau kita harus memajukan industri, mempercepat pertumbuhan ekonominya. Ini ajaran Pak Sumitro,” katanya.

Purbaya mencontohkan Cina, yang selama bertahun-tahun berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen. Saat ini, Cina sudah mendekati status negara maju.

“Makanya Amerika Serikat kebakaran jenggot. Cina investasi teknologi dan industri besar-besaran. Transformasi ekonomi juga terlihat jelas. Sektor manufaktur dari rendah menjadi stabil di atas 38 persen, sementara sektor pertaniannya cenderung turun ke 5,2 persen.

Diakhir paparannya, Purbaya menegaskan Cina tidak membunuh sektor pertanian. Sektor tersebut tetap tumbuh, namun ekonomi didorong oleh pertumbuhan sektor industri yang lebih pesat. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *