JAKARTA – Penipuan keuangan digital masih menghantui masyarakat luas, terutama generasi muda. Hal ini menjadi tantangan besar yang dihadapi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Parahnya, penipuan digital ini langsung menyasar sektor keuangan masyarakat yang belum waspada.
Menurut OJK, menghadapi maraknya penipuan digital, ada dua tantangan besar. Kedua tantangan tersebut terkait dengan pola pikir masyarakat, dan rendahnya pelaporan oleh korban.
Hal tersebut disampaikan Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen OJK Rizal Ramadhani, dalam diskusi CIPS Digiweek, Jakarta, Selasa (3/6).
“Tantangannya agak rumit. Generasi digital sekarang cenderung ingin yang serba instan dan untung besar. Ini melawan kodrat,” ujar Rizal.
Rizal menjelaskan, saat ini banyak anak muda yang terjebak dalam mentalitas frenzy care, yaitu dorongan untuk cepat untung tanpa memahami risiko.
“Padahal dalam dunia keuangan, prinsip dasar risiko tinggi, keuntungan tinggi atau high risk, high return harus selalu menjadi pertimbangan utama,” jelasnya.
Fenomena ini, lanjut dia, muncul karena lemahnya budaya membaca dan berpikir kritis masyarakat digital saat ini.
“Ketika dihadapkan pada internet dan gadget, semuanya terlihat mudah. Rayuan-rayuan manis dari para pelaku scam tidak dikritisi. Ini jadi tantangan besar kita,” jelas Rizal.
OJK, kata dia, menekankan pentingnya pendekatan literasi dan edukasi untuk mengubah pola pikir masyarakat.
“Bukan hanya meningkatkan pemahaman teknis. Kalau mau ubah perilaku (keuangan masyarakat), mindset-nya dulu yang harus diubah,” katanya.
Lebih lanjut dijelaskannya, tantangan kedua yang dihadapi OJK adalah rendahnya tingkat pelaporan dari korban penipuan. Banyak masyarakat yang menganggap melapor ke penegak hukum tidak membawa manfaat, apalagi jika uangnya sudah terlanjur hilang.
“Mereka (korban penipuan) berpikir, ‘uang sudah hilang, lapor buat apa? Apakah uangnya akan kembali?’ Belum lagi anggapan bahwa proses pelaporan itu rumit. Padahal kenyataannya tidak seperti itu,” ungkap Rizal.
Dia menambahkan, sikap enggan melapor justru menyulitkan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku. Pada gilirannya, keeengganan melapor juga membuat pelaku penipuan semakin aman dan nyaman melaksanakan aksi culasnya.
Jika sudah begitu, penelusuran kegiatan penipuan keuangan menjadi lebih sulit terlacak ke depannya.
“Kalau tidak ada laporan dan kesaksian, penyidik kesulitan untuk menindaklanjuti. Akhirnya, pelaku tidak jera dan kejahatan terus berulang,” tegasnya.