Kredit Macet BPR Terus Melonjak, Perbarindo Harap Tidak Berlangsung Lama

JAKARTA – Persoalan kualitas kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tidak hanya dialami bank umum, namun juga turut menimpa industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Apalagi penyaluran kredit BPR, memang lebih banyak disalurkan ke sektor UMKM.

Rasio NPL (Non Performing Loan) BPR pada Maret tahun ini berdasarkan data Ptoritas Jasa Keuangan
 (OJK), berada di level 11,91%. Angka ini melonjak jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih sebesar 10,70%.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan, sejak Maret 2024, NPL BPR memang terus menunjukkan tren kenaikan. Hingga puncaknya di Desember 2024, NPL BPR tercatat sebesar 11,99%. Angka ini telah melebihi ambang batas 5% atau 2 kali lipat dari threshold.

Penyebab NPL BPR melebihi ambang batas 5%, menurut Dian, karena masih terdampaknya pandemi terhadap masyarakat atau pelaku usaha kecil yang merupakan target BPR.

“NPL industri BPR dipengaruhi salah satunya dari scarring effect dari pandemi yang berdampak terhadap nasabah perorangan atau UMKM di daerah yang merupakan target BPR,” kata Dian.

Untuk mengurang NPL BPR yang cukup tinggi itu, OJK akan membantu pelaku industri, sesuai dengan mandat dari Undang-undang No. 4 Tahun 2023 adalah tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).

Sejumlah peraturan sudah diterbitkan OJK atau POJK untuk memperkuat tata kelola BPR-BPR di Indonesia. Dian mencontohkan, misalnya, POJK No. 9 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola bagi BPR/S. POJK tersebut dilengkapi dengan SEOJK 12 Tahun 2024, membahas hal yang sama.

Selain itu, OJK juga telah mengeluarkan SEOJK No. 21/SEOJK 03 Tahun 2024 tentang Pedoman Standar Akuntansi Keuangan Entitas Privat (SAKEP), dan meminta BPR membentuk CKPN untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin terjadi akibat penurunan nilai aset keuangan.

Sementara terkait penyebab melonjaknya NPL BPR tersebut, hal senada diungkapkanKetua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo), Tedy Alamysah yang juga menilai bahwa melonjaknya NPL BPR, akibat dampak dari berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19. 

Namun Teddy berharap, kondisi ini tidak berlangsung lama.

“Kami berharap kondisi ini tidak berlangsung lama, karena melihat BPR-BPRS terus berupaya memperbaiki kinerjanya baik dari sisi kuantitas maupun dari kualitasnya. Dan di akhir tahun nanti kami harapkan tingkat rasio NPL dapat terjaga di di bawah 8 persen,” ujar Tedy.

Untuk menjaga kualitas kredit, Tedy menambahkan, industri BPR berupaya meningkatkan penyaluran kredit secara sehat, tepat dan memenuhi kaidah prudential banking. 

“Bagi BPR yang memiliki kualitas kredit yang cukup besar, upaya-upaya restrukturisasi akan menjadi pilihan yang paling bijak dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih,” pungkasnya. 

Tedy pun menjabarkan, tantangan yang sangat dirasakan industri BPR yaitu pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan kinerja BPR.

Oleh karena itu, pihaknya berharap stimulus pemulihan ekonomi yang selama ini telah di upayakan pemerintah, benar-benar memberikan dampak terhadap sektor riil ekonomi di masyarakat.

Sementara Direktur Utama BPR Hasamitra, I Nyoman Supartha menyampaikan, perkembangan rasio NPL BPR Hasamitra ditengah anomali pasar, masih bisa di kendalikan. Rasio NPL Bruto per 31 Desember 2024 ada di angka 2,20%. Sesuai remcana kerja target rasio NPL Bruto pada bulan Mei 2025 sebesar 2,31% terealisasi di angka 2,11%.

“Hingga akhir tahun rasio NPL Bruto juga diproyeksikan sebesar 1,11% dan rasio NPL Nettonya di angka 0,21%. Untuk mengantisipasi dan menurunkan rasio NPL di BPR Hasamitra agar target Desember 2025 tercapai, dibutuhkan pendekatan strategis dari berbagai aspek, baik preventif maupun kuratif,” kata pria yang akrab disapa Mansu ini.

Selain itu, dalam menjaga kualitas kredit, pihaknya juga menerapkan beberapa strategi seperti, evaluasi dan segmentasi kredit yang ada berdasarkan sektor usaha, kolektibilitas, dan nilai pinjaman.

Selanjutnya, membentuk tim Satuan Kerja Kredit Bermaslah (SKKB). Disetiap kantor cabang ada staff remidial kredit yang dipimpin oleh pimpinan cabang.

RO dan Kasie Kredit fokus memoonitoring debitur dengan kolektibilitas 2 (Dalam Perhatian Khusus). Staff remedial dan pincab fokus menurunkan atau menyelesaikan kredit bermasalah melalui mediasi maupun litigasi.

Pihaknya juga melakukan peningkatan kualitas analisis kredit, yakni penilaian kelayakan pinjaman lebih prudent dengan cara meningkatkan kapabilitas SDM dalam melakukan analisis risiko dan memonitoring dan penagihan lebih dini dengan cara lebih rutin dan meningkatkan kunjungan lapangan, terutama untuk nasabah yang berpotensi macet.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *