DENPASAR – Terdakwa kasus tindak pidana perbankan dengan modus pencatatan palsu dalam laporan keuangan, Ida Bagus Toni Astawa, akhirnya divonis 8 tahun penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Putusan itu dibacakan pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (10/6/2025) kemarin.
Majelis Hakim PN Denpasar menyatakan bahwa Ida Bagus Toni Astawa, Direktur Utama PT BPR Bali Artha Anugrah (BAA) terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
“Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 tahun potong masa tahanan, ” sebut hakim dalam putusannya. Vonis hukuman yang dijatuhkan majelis hakim ini sama persis dengan tuntutan hukuman yang dimohonkan oleh jaksa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu OKA Bhismaning dan Komang Swastini.
Selain Dirut BPR BAA, ternyata Ida Bagus Tomi Astawa juga mantan Ketua KONI Denpasar.
Sebelumnya terdakwa Ida Bagus Toni Astawa sempat membantah tudingan atas kredit fiktif senilai Rp Rp 325,47 miliar. Ia berkeras, bahwa krediti fiktif itu semua untuk menutupi para nasabah yang kreditnya macet.
“Jadi kredit fiktif itu untuk menutupi kredit macet. Jadi tidak ada yang masuk ke kantong pribadi saya” kelitnya.
Selain itu terdakwa Toni Astawa juga mengatakan jika beberapa nasabah bank ada yang mengetahui jika namanya “dipinjam” untuk pengajuan kredit fiktif.
“Kita berita tahu kepada nasabah bahwa namanya kita pakai untuk pengajuan kredit, hanya saya nasabah itu tidak menerima uang, ” ujarnya.
Sementara menyinggung soal peran terdakwa I Nengah Sujana (63) selaku Direktur Operasional, selain juga menawarkan beberapa nasabah untuk dipinjam nama, juga bertugas menjalankan perintah terdakwa Ida Bagus Toni dalam membuat kredit fiktif.
I Nengah Sujana pun mengakuinya, ia juga mengaku tidak mendapatkan uang sepeser pun dalam menjalankan perintah itu.
Meski gerus mengelak dan berdalih tidak menerima uang dari 635 kredit fiktif itu, Toni Astawa akhirnya menyerah saat ditanya soal adanya pencairan uang milik BPR Bali Artha Anugrah yang disimpan di Bank BJB sebesar kurang lebih Rp 500 juta.
“Saudara Toni Astawa mengetahui ada penarikan uang di bank BJB senpai Rp 500 juta lebih,?,” tanya Jaksa Swastini yang dijawab jika dia mengetahuinya. Dia mengatakan jika uang yang diambil di bank BJB itu digunakan untuk membeli mobil toyota Alphard yang kemudian disewakan (rental)) dan hasil rental mobil itu terdakwa Toni Astawa Gunakan Sendiri.
“Tapi pada saat Covid-19 melanda mobil itu dijual, ” ujar Toni Astawa tanpa menyebut uang hasil penjualan mobil itu masuk ke rekening bank atau masuk ke kantong pribadinya.
Seperti diketahui, para terdakwa diduga melakukan tindak pidana perbankan dengan modus pencatatan palsu dalam laporan keuangan. Akibat perbuatan mereka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya mencabut izin usaha bank tersebut pada 4 April 2024.
Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Oka Bhismaning dkk, dijelaskan, dalam kurun waktu 23 Februari 2017 hingga 27 Juni 2023, terdakwa Ida Bagus Toni Astawa dan terdakwa I Nengah Sujana, bersama dengan saksi I Gede Dodi Artawan selaku Kepala Bagian Kredit, melakukan manipulasi data kredit di BPR yang terletak di Jalan Diponegoro No. 171, Dauh Puri Kelod, Denpasar Barat.
Mereka membuat kredit fiktif total sebanyak 635 fasilitas kredit menggunakan 151 nama debitur, dengan total plafon mencapai Rp 325,47 miliar. Kredit fiktif ini digunakan untuk menutupi tingginya Non-Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah di bank tersebut agar tetap berada di bawah 3%.
“Dengan demikian, laporan keuangan seolah-olah menunjukkan kondisi keuangan bank yang sehat,” ungkap JPU.
Proses rekayasa ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggunakan data debitur lama yang telah melunasi pinjamannya atau debitur yang sedang menunggak sebagai pemohon kredit baru. Mereka juga menggunakan agunan yang sama untuk beberapa kredit berbeda atau bahkan menentukan sendiri agunan tanpa verifikasi