JAKARTA – Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Jimmy Ardianto, menyoroti disparitas signifikan antara jumlah perusahaan dan proporsi aset yang dimiliki oleh BPR/BPRS dibandingkan bank umum di Indonesia.
Data LPS dan OJK per Januari 2025 menunjukkan, meskipun jumlah BPR/BPRS mencapai 1.530 entitas berbanding hanya 105 bank umum, kontribusi aset BPR/BPRS hanya sekitar 1% dari total aset lembaga keuangan. Sebaliknya, bank umum menguasai 80% aset.
Jimmy menyampaikan keprihatinannya dalam acara Fintech Talk PAJK di Jakarta (23/4), mengingat total aset lembaga keuangan per Januari 2025 mencapai Rp12.410,66 triliun.
Potensi yang dimiliki BPR, menurut Jimmy, mumpuni dalam hal kedekatan dengan komunitas lokal dan cakupan geografis yang luas, termasuk di wilayah-wilayah yang belum banyak tersentuh oleh layanan pembangunan.
Ia pun membeberkan data gabungan OJK dan World Bank, yang menyebutkan, rendahnya rasio finansial sistem deposit terhadap PDB di Indonesia, yang baru mencapai 41,2%. Angka ini menurut Jimmy, jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, di antaranya Filipina (77,7%), Malaysia (122,6%), dan Thailand (135,6%).
“Ini menunjukkan masih ada ruang cukup luas bagi sektor keuangan untuk meningkatkan pengumpulan dana masyarakat,” tambah Jimmy.
Dari data tersebut, dia mengatakan, tingkat inklusi keuangan di Indonesia sebenarnya masih memiliki ruang untuk terus dioptimalkan.
Peningkatan inklusi keuangan untuk memperbaiki rasio finansial sistem deposit Indonesia yang masih terbatas. Jadi, nantinya diperoleh pendanaan domestik yang cukup untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Peran BPR/BPRS, dijelaskan Jimmy, lembaga ini dapat berperan sebagai senjata ekonomi di dalam negeri.
“Meski kontribusinya terbatas, jangkauan dan intensitas interaksi BPR-BPRS dengan masyarakat menjadi pilar potensial dalam memperluas akses layanan keuangan, terutama bagi segmen masyarakat di daerah, serta untuk segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),” terangnya.
Peran BPR/BPRS dalam memperluas jangkauan ke masyarakat, diakuinya masih terbatas dalam hal kemajuan teknologi. Karena itu, pihaknya mendorong kerja sama lembaga BPR dengan fintech lewat sistem Penyelenggara Agregasi Jasa Keuangan (PAJK).
“Kolaborasi BPR/BPRS dan fintech dapat memanfaatkan teknologi yang diarahkan untuk meningkatkan efisiensi operasional, memperluas jangkauan layanan dan jangkauan pendapatan, serta meningkatkan layanan perbankan yang berorientasi pada tujuan langsung ke nasabah,” imbuhnya.
Jimmy juga mengungkap, hasil survei LPS 2024 menunjukkan, kolaborasi antara BPR/BPRS dan Penyelenggara Agregasi Jasa Keuangan (PAJK) memiliki dampak positif terhadap kinerja penyimpanan dana.
Dari 42 BPR/BPRS yang menjadi responden survei, sebanyak 56% di antaranya, yaitu 23 BPR/BPRS telah menjalin kemitraan dengan PAJK untuk memasarkan produk simpanan, termasuk deposito. Dari jumlah tersebut, sekitar 74% atau 17 BPR/BPRS melaporkan adanya peningkatan Dana Pihak Ketiga setelah operasi resmi.
Jimmy kembali menegaskan, dengan skema kerja sama tersebut, ada peluang bagi BPR/BPRS untuk mengisi ruang rasio finansial sistem deposit terhadap PDB Indonesia yang masih belum terpenuhi.
“Hal ini penting agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada pembiayaan eksternal untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional kita,” jelas Jimmy.