Seminar dan Musda VII Perbarindo Sumut, Akselerasi Digital dan Penguatan Ekosistem Keuangan

MEDAN – Sebanyak 110 orang mengikuti Seminar dan Musyawarah Daerah (Musda) VII yang digelar Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat (Perbarindo) Sumatera Utara (Sumut) di Grand Ballroom Four Points by Sheraton Medan.

Ratusan peserta itu terdiri dari Dewan Pengawas dan Pengurus DPD serta DPK Perbarindo Sumut, komisaris dan direksi BPR–BPRS serta anggota.

Acara ini menjadi forum strategis bagi industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) di Sumut untuk membahas langkah penguatan di tengah tantangan akselerasi digital dan penyesuaian regulasi.

Kegiatan ini berfokus pada tiga pilar utama: inovasi digital, penyesuaian regulasi, dan penguatan ekosistem keuangan masyarakat.

Seminar ini menghadirkan tiga narasumber kunci yang mengupas tuntas aspek penting bagi keberlanjutan BPR-BPRS, yakni
Robby Satya Andhika (Pengawas Senior Deputi Direktur Pengawasan LJK 1 OJK Sumut). I. Pramuji Novri H (Kepala Divisi Edukasi, Humas, dan Hubungan Kelembagaan Kantor Perwakilan LPS), danTeddy Alamsyah (Ketua Umum DPP Perbarindo).

Ketiga pakar tersebut membahas aspek regulasi, stabilitas sistem keuangan, dan strategi transformasi BPR-BPRS untuk menjaga daya saing di industri yang semakin kompetitif.

Robby Satya Andhika dari OJK Sumut menyoroti bahwa pandemi COVID-19 adalah titik balik yang memaksa akselerasi digital di sektor layanan keuangan. Ia menjelaskan, sebelum pandemi, adopsi teknologi berjalan lambat, terutama karena kebiasaan masyarakat yang lebih mengutamakan interaksi tatap muka dan transaksi fisik.

“Pandemi memaksa masyarakat memasuki ruang digital, termasuk dalam mengakses layanan ekonomi dan keuangan. Kondisi ini mempercepat adopsi layanan elektronik, menjadikan kanal digital sebagai pintu utama aktivitas,” tegas Robby.

Momentum ini direspons regulator melalui penyusunan Rencana Pengembangan dan Penguatan BPRS (RP2B) 2024–2027. Strategi ini bertumpu pada empat prioritas: peningkatan integritas, ketangguhan, kontribusi, dan perluasan akses layanan keuangan bagi daerah serta pelaku UMKM.

Namun, Robby juga memetakan empat tantangan besar yang dihadapi industri:

  1. Struktur perbankan yang masih dikuasai lembaga besar.
  2. Skala bisnis BPR–BPRS yang masih terbatas.
  3. Perubahan cepat dalam ekosistem dan metode layanan digital.
  4. Meningkatnya ekspektasi publik yang menuntut penyesuaian regulasi.

Ia mengingatkan bahwa kompetisi BPR–BPRS kini meluas, tidak hanya dari lembaga sejenis, tetapi juga dari koperasi yang bertransformasi daring dan perusahaan fintech. Karena itu, inovasi, penguatan tata kelola data, dan kemampuan membaca peluang pasar menjadi kunci agar BPR-BPRS tetap relevan dan berkelanjutan.

Pada sesi kedua, Pramuji Novri H dari LPS memaparkan tren positif akses keuangan nasional, di mana kepemilikan rekening formal telah mencapai sekitar 56 persen penduduk dewasa, naik signifikan dari 20 persen pada 2011.

Meskipun demikian, capaian ini masih jauh tertinggal dibandingkan negara maju (di atas 95 persen) dan negara berkembang (65–75 persen). Tantangan utamanya adalah rendahnya literasi keuangan, keterbatasan akses fisik, dan anggapan bahwa layanan keuangan formal cenderung rumit.

“Dari aspek pembiayaan, pemanfaatan kredit formal di Indonesia hanya sekitar 15 persen, lebih rendah dari rata-rata global yang mencapai 24 persen. Sebagian besar masyarakat masih mengandalkan pinjaman informal,” jelas Pramuji.

Kondisi ini, menurutnya, justru menunjukkan ruang besar yang masih terbuka bagi penguatan ekosistem keuangan. Ia menekankan peran vital BPR-BPRS sebagai penyedia layanan yang dekat dengan masyarakat dan pelaku usaha mikro.

Pramuji juga menyoroti proyeksi tingkat literasi (66,46 persen) dan inklusi keuangan (80,5 persen) pada 2025. Adanya selisih 14 persen mengindikasikan banyak masyarakat menggunakan layanan tanpa memahami produk secara utuh. Selain itu, rendahnya rasio aset keuangan terhadap PDB Indonesia (41,2 persen) menunjukkan potensi penghimpunan dana masyarakat yang sangat besar dan perlu dioptimalkan.

Menutup sesi seminar, Teddy Alamsyah selaku Ketua Umum DPP Perbarindo, menekankan pentingnya sinergi antara regulator, pelaku industri, dan pelaku usaha.

Teddy menilai perkembangan digital, meski menghadirkan tantangan, juga membuka peluang besar bagi BPR–BPRS untuk perluasan layanan yang lebih efisien, menjangkau segmen yang sebelumnya sulit diakses. Ia mendorong BPR–BPRS agar melakukan beberapa langkah, diantaranya, terus mengembangkan produk yang relevan dengan kebutuhan pasar, kemudian meningkatkan kemampuan internal (SDM), serta memperkuat manajemen risiko.

Seminar yang dipandu Kotok Tamtama, Ketua Bidang Hukum dan Peraturan DPP Perbarindo, dilanjutkan dengan Musda VII yang fokus membahas arah kebijakan dan strategi penguatan BPR–BPRS di wilayah Sumatera Utara.

Perhelatan ini diharapkan menjadi momentum strategis untuk memperkuat daya saing BPR-BPRS di era digital, memperluas akses layanan bagi UMKM, dan menegaskan peran BPR-BPRS sebagai penyokong utama ekonomi kerakyatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *