Geruduk Kejati Jabar, Mahasiswa Indramayu Desak Bongkar Aktor Besar di Balik Korupsi BPR KRI Rp139 Miliar

BANDUNG – Dugaan korupsi yang terjadi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Karya Remaja Indramayu (BPR KRI), hingga saat ini pengusutannya dinilai belum tuntas.

Kondisi ini memicu perhatian kalangan mahasiswa, yang mendesak agar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat segera mengusut tuntas kasus yang merugikan negara hingga Rp139 Miliar tersebut.

Desakan mahasiswa Unwir Indramayu diwujudkan dengan aksi damai mendadak di depan Kantor Kejati Jawa Barat di Bandung, Selasa (21/10/2025).

Kedatangan belasan mahasiswa ini bukan sekadar orasi. Mereka membawa serta dokumen audit dan laporan resmi sebagai bukti tambahan. Aksi ini bertujuan untuk mendesak Kejati Jabar agar tidak hanya fokus pada mantan pejabat bank, tetapi juga mengungkap aktor intelektual atau ‘dalang’ utama di balik skandal kredit fiktif tersebut.

Perwakilan mahasiswa, Muhammad Daffa, menyampaikan bahwa penyidikan yang berjalan saat ini dinilai belum menyentuh pihak-pihak penting di luar manajemen bank.

“Kami datang bukan hanya orasi, tapi juga membawa dokumen audit dan pemberitaan media yang menunjukkan adanya dalang besar. Jangan hanya hukum yang kecil, bongkar juga yang di atas,” tegas Daffa di hadapan Kejati Jabar.

Daffa menduga kuat adanya keterlibatan pihak eksternal, yaitu oknum yang mengatur pencairan dana dan aliran uang haram dari kredit fiktif BPR KRI selama periode 2013 hingga 2021.

Menanggapi tuntutan tersebut, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar, Nur Sricahyawijaya, menyampaikan apresiasi atas inisiatif dan dukungan mahasiswa.

“Kami akan mendalami laporan yang masuk. Semua laporan dugaan korupsi akan kami proses sesuai mekanisme hukum,” ujar Nur. Ia menambahkan bahwa Kejati Jabar sangat terbuka terhadap masukan, data, dan bukti tambahan dari publik demi menuntaskan kasus BPR KRI secara menyeluruh dan transparan.

Sebagai informasi, Kejati Jawa Barat telah menetapkan dan menahan tiga mantan pejabat tinggi Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja Indramayu (Perumda BPR KRI) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan penyaluran kredit.

Kerugian negara akibat kasus yang terjadi pada rentang waktu 2013 hingga 2021 ini ditaksir mencapai angka fantastis, yakni sekitar Rp139,6 Miliar.

Ketiga tersangka yang ditahan adalah eks Direktur Utama berinisial SGY (periode 2012-2022), eks Direktur Operasional berinisial MAA (periode 2012-2019), dan eks Direktur Operasional berinisial BS (periode 2020-2023).

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar dalam keterangannya menjelaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah tim penyidik menemukan bukti kuat adanya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam proses penyaluran kredit di bank milik Pemerintah Kabupaten Indramayu tersebut.

Modus Penyaluran Kredit Fiktif

Penyidikan mengungkapkan bahwa penyimpangan utama terjadi melalui:

  • Penyaluran fasilitas kredit fiktif kepada pihak ketiga (koordinator) dengan menggunakan identitas sejumlah debitur.
  • Proses persetujuan kredit yang tidak sesuai dengan prosedur perbankan yang berlaku.

“Para tersangka diduga kuat telah menyalahgunakan kewenangan dan kedudukannya sehingga merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah,” jelas perwakilan Kejati Jabar.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Kota Bandung untuk 20 hari ke depan guna memperlancar proses penyidikan lebih lanjut. Mereka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus dugaan korupsi besar ini mencuat setelah BPR KRI mengalami masalah kredit macet yang signifikan, hingga akhirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha BPR KRI pada September 2023. Langkah ini kemudian diikuti dengan pembayaran klaim simpanan nasabah oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kejati Jabar menegaskan komitmennya untuk mendalami kasus ini dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain yang terlibat dalam pusaran korupsi yang telah merugikan keuangan daerah tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *