JAKARTA – Kinerja industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) hingga akhir Juni 2025, tercatat melambat dibandingkan tahun sebelumnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam keterangannya menyebutkan bahwa salah satu penyebabnya adalah ‘scarring effect’ atau dampak berkepanjangan dari pandemi Covid-19.
Namun demikian, dijelaskan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rei, meski terjadi perlambatan, pertumbuhan industri ini masih ditopang oleh kenaikan aset, penyaluran kredit, dan Dana Pihak Ketiga (DPK).
Fungsi intermediasi dan likuiditas BPR/BPRS pun tetap stabil, dengan rasio permodalan yang masih di atas ambang batas ketentuan.
“Luka lama dari pandemi masih berdampak pada nasabah perorangan atau UMKM di daerah yang menjadi target pasar BPR dan BPRS,” ucap Dian.
Prospek Positif & Tantangan Kualitas Pembiayaan
OJK tetap optimis dengan prospek BPR/BPRS di masa depan. OJK berkomitmen untuk terus memperkuat industri ini sesuai amanat Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas manajemen risiko, kepatuhan, dan tata kelola BPR/BPRS.
Namun, beberapa tantangan juga terlihat dari data perbankan syariah Juni 2025:
Rasio Kecukupan Modal (CAR): BPRS mencatat rasio CAR sebesar 20,53%. Angka ini sebenarnya kuat, namun mengalami penurunan 23,10% secara tahunan (year-on-year). Rasio CAR yang tinggi menunjukkan kemampuan bank menahan kerugian dan melindungi dana nasabah.
Likuiditas: Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (Financing to Deposit Ratio/FDR) BPRS tercatat sebesar 115,78%, turun dari 117,58% tahun lalu. Ini menunjukkan tingkat likuiditas yang masih tinggi.
Kualitas Pembiayaan: Ini menjadi tantangan utama. Rasio pembiayaan bermasalah atau Non-Performing Financing (NPF) BPRS berada di level 10,36%, lebih tinggi dibandingkan 8,23% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan NPF ini mengindikasikan adanya masalah dalam pengembalian pinjaman.
Rentabilitas: Di sisi lain, BPRS masih mencatatkan rentabilitas yang positif. Hal ini terlihat dari rasio pengembalian aset atau Return on Assets (ROA) yang naik menjadi 1,60% dari 1,54% tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, meskipun dihadapkan pada pengetatan likuiditas dan kualitas pembiayaan yang menurun, tingkat permodalan BPRS tetap kuat.