JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat angka pertumbuhan kredit tahunan (YoY) hanya mencapai 7,36%. Angka ini jauh di bawah capaian periode yang sama tahun sebelumnya (Oktober 2024) yang mampu menyentuh 10,92%.
Angka ini juga menunjukkan pertumbuhan kredit perbankan Indonesia pada Oktober 2025 melambat signifikan.
Kepala Direktorat Stabilitas Sistem Keuangan OJK, Bayu Dwi Kariastanto, menjelaskan bahwa penurunan ini didorong oleh tekanan pada dua segmen utama: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Kredit Konsumsi.
Segmen Kunci Jadi Penghambat
Menurut Bayu, penurunan tajam pertumbuhan kredit pada Oktober 2025 sebagian besar disebabkan oleh kontraksi di kredit UMKM. Kontraksi ini terjadi karena rasio non-performing loan (NPL) UMKM meningkat, bahkan mendekati ambang batas 5%. Jika program hapus tagih oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) dikecualikan, pertumbuhan kredit UMKM tercatat sangat rendah, sekitar 2%.
“Memang ada masalah di UMKM dan kelas menengah, bahwa kredit UMKM ini cenderung tertekan,” ungkap Bayu dalam diskusi di acara Bisnis Indonesia Group Conference 2025, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Selain UMKM, kredit konsumsi juga berada dalam tren menurun. Penurunan ini dipengaruhi oleh kontraksi yang terjadi pada kredit kendaraan bermotor dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Kecil.
“Ini yang menyebabkan pertumbuhan kredit kita tidak optimal, karena ada segmen UMKM dan segmen menengah bawah rumah tangga yang sekarang lagi tertekan,” jelas Bayu.
Target BI Terancam
Perlambatan pertumbuhan kredit ini juga telah disoroti oleh Bank Indonesia (BI). Sebelumnya, BI melaporkan bahwa pertumbuhan kredit per Oktober 2025 turun menjadi 7,36% YoY, melambat dari bulan sebelumnya (September 2025) yang sebesar 7,7% YoY. Angka ini menempatkan otoritas moneter pada posisi sulit untuk mencapai target pertumbuhan kredit tahunan di kisaran 8-11%.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyebutkan bahwa lesunya permintaan kredit tercermin dari tingginya fasilitas kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) yang mencapai Rp2.450,7 triliun per Oktober 2025, setara dengan 22,97% dari total plafon kredit.
Faktor penyebab minimnya permintaan, menurut Perry, meliputi:
Sikap pelaku usaha yang masih menahan diri (wait and see).
Korporasi yang memilih mengoptimalkan pembiayaan internal.
Suku bunga kredit yang dianggap masih relatif tinggi.
Likuiditas Memadai, Bank Lebih Berhati-hati
Dari sisi penawaran, Perry memastikan bahwa kapasitas pembiayaan bank dalam kondisi memadai, didukung oleh likuiditas yang cukup. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) bahkan meningkat menjadi 29,47%. Dana Pihak Ketiga (DPK) juga tumbuh kuat sebesar 11,48% YoY, dibantu oleh ekspansi keuangan pemerintah dan insentif makroprudensial BI.
Meskipun minat penyaluran kredit bank secara umum cukup baik dan persyaratan pemberian kredit (lending requirement) cenderung melonggar, Perry mencatat adanya pengecualian. Persyaratan pemberian kredit untuk segmen konsumsi dan UMKM justru meningkat.
Peningkatan persyaratan ini mengindikasikan sikap kehati-hatian bank yang lebih tinggi seiring dengan tingginya risiko kredit yang terlihat pada kedua segmen tersebut. Hal ini sejalan dengan data pertumbuhan kredit UMKM yang anjlok menjadi hanya 0,11% YoY pada Oktober 2025.
BI memproyeksikan pertumbuhan kredit tahun 2025 akan berada pada batas bawah kisaran target 8-11%, dan baru diperkirakan akan meningkat pada tahun 2026.





