CIREBON – Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bakal berperan sebagai tulang punggung baru dalam skema pembiayaan ekosistem pangan nasional.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Barat menempatkan BPR dalam peran strategis ini melalui dukungan penuh terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan fasilitas Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), khususnya di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning).
Kepala OJK Jawa Barat, Darwisman, menjelaskan bahwa ketika MBG diimplementasikan penuh mulai tahun 2026, BPR akan menjadi kanal pembiayaan yang paling krusial. Dukungan ini tidak hanya terbatas pada pembangunan fisik SPPG, tetapi juga meresap hingga ke seluruh rantai pasok pangan yang menaungi ribuan pelaku UMKM lokal.
“SPPG membutuhkan pasokan beras, telur, daging ayam, cabai, tomat, bawang, ikan, buah-buahan, sampai susu. Ini berlangsung setiap hari dan tidak bisa berhenti. Di situlah ruang bagi BPR untuk membiayai UMKM yang bergerak di sektor-sektor ini,” ujar Darwisman di Kota Cirebon, Kamis (11/12/2025).
Fokus pada UMKM, Bukan Konglomerat
Pemerintah sengaja memilih UMKM—bukan konglomerat—sebagai penggerak utama ekosistem pangan. BPR, yang memiliki kedekatan sosial di tingkat desa dan kecamatan, dipandang paling siap untuk menggerakkan pembiayaan dari hulu ke hilir.
Dengan pembiayaan yang tepat, BPR dapat menopang berbagai mata rantai produksi, mulai dari peternak ayam, petelur, penggemukan sapi, petani hortikultura, hingga produsen susu. Mekanisme ini dinilai jauh lebih efektif menciptakan dampak ekonomi yang luas dibandingkan sekadar kredit konsumtif.
“Bayangkan satu SPPG saja bisa menggerakkan puluhan hingga ratusan UMKM lokal. Jika Ciayumajakuning memiliki banyak SPPG, maka tensi ekonominya akan besar,” tambahnya. Selain pangan, BPR juga didorong aktif membiayai perumahan bersubsidi (FLPP) untuk menjaga stabilitas kredit dan menggerakkan sektor konstruksi daerah.
Namun, Darwisman mengingatkan bahwa peran besar ini membawa konsekuensi berupa tantangan yang signifikan.
Masyarakat kini menuntut layanan BPR yang harus cepat, akurat, dan ramah, bahkan dituntut mampu menyaingi kecepatan layanan rentenir atau “bank emok,” tetapi tetap mempertahankan tata kelola dan kualitas yang baik.
“BPR harus masuk ke layanan digital. Tanpa digitalisasi, BPR akan tertinggal dari fintech dan bank digital. Masyarakat tidak lagi menunggu proses lama,” tegasnya.
Meskipun beberapa BPR di Jawa Barat telah memulai infrastruktur digital, OJK menekankan perlunya percepatan. Selain itu, peningkatan risiko operasional dan kredit di tahun 2026 harus diwaspadai, seiring dengan ketidakpastian ekonomi global, dinamika geopolitik, dan fluktuasi harga komoditas (termasuk antisipasi kebijakan tarif AS era Trump).
Meskipun dibayangi risiko global, OJK optimistis terhadap ekonomi nasional 2026 yang didorong oleh akselerasi kemandirian pangan, industrialisasi, dan investasi swasta. Darwisman menilai momentum ini adalah peluang emas bagi BPR.
“Indonesia sedang mempercepat swasembada pangan. Ini peluang besar bagi sektor BPR karena pembiayaan UMKM akan menjadi pilar utama,” katanya.
Kunci keberhasilan BPR ke depan adalah kemampuan untuk memitigasi risiko secara ketat, memperbaiki kualitas layanan, dan adaptif terhadap perubahan teknologi.
“Kalau BPR bisa masuk ke ekosistem pangan sejak awal, dampaknya luar biasa. BPR menjadi bagian dari pembangunan ekonomi daerah sekaligus mendukung program strategis nasional,” tutup Darwisman.






