DENPASAR — Menyambut optimisme Tahun Baru 2026, BPR Kanti menyelenggarakan Seminar Nasional Indonesia Economic Outlook 2026.
Seminar yang dihelat pada pada Senin (8/12) kemarin, mengambil tema ‘Penguatan Peran Lembaga Keuangan dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional’. Seminar ini sekaligus mengulas peran krusial Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di tengah dinamika ekonomi yang kompleks.
Seminar ini menghadirkan para pakar dan praktisi terkemuka, di antaranya Dr. Roberto Akyuwen (Dirut PT LRT Jakarta dan mantan Kepala OJK Jabotabek-Banten), Viraguna Bagoes Oka (mantan KpW BI Bali-Nusra), Ir. Bakri, S.E.,M.M. (CEO LSP Microfinance Indonesia/BRI Institute), dan Franky Suhendra (Dirut PT Jaringan BPR Nusantara). Diskusi mendalam ini dipandu oleh Prof. Dr. IB Raka Suardana, Regional Chief Economist BNI Wilayah 8 sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar.
Direktur Utama BPR Kanti, Made Arya Amitaba, menekankan bahwa lembaga keuangan mikro seperti BPR memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Oleh karena itu, ia menyuarakan harapan agar BPR dapat dilibatkan secara lebih aktif dan signifikan dalam membangun perekonomian.
Amitaba menyayangkan bahwa dukungan kebijakan pemerintah terhadap lembaga keuangan, yang notabene menjadi penopang perekonomian, belum ditempatkan sebagai sasaran utama—bahkan berada di prioritas keenam pembangunan.
“Melalui seminar nasional ini, yang menghadirkan narasumber dan peserta dari luar Bali, kami berupaya mendapatkan insight nasional dan regional untuk tetap menjaga optimisme bagi lembaga keuangan. Walaupun secara kebijakan belum mengedepankan kami, kami harus melihat kondisi riil di lapangan dan menjaga optimisme sebagai salah satu penggerak perekonomian di daerah,” tegas Amitaba.
Menyongsong Masa Depan: Regulasi, Persaingan, dan Apex Bank
Amitaba juga menyoroti tantangan kompleks yang dihadapi BPR, mulai dari regulasi, persaingan, hingga kondisi perekonomian masyarakat. Ia mengingatkan kembali bahwa kelahiran BPR bertujuan mulia, yaitu menghindarkan masyarakat dari jerat rentenir. Namun, kini BPR harus menghadapi tantangan baru berupa pinjaman online (pinjol) yang berpotensi menggerus pangsa pasar.
Dalam konteks penguatan industri, Amitaba kembali menyinggung pentingnya peran Apex Bank sebagai “pengobat” krisis keuangan. Mengacu pada krisis moneter 1997/1998 di mana BPR terkesan terabaikan, ia menekankan bahwa program Apex Bank harus diteruskan, dan tongkat estafetnya akan dipercayakan kepada Jaringan BPR Nusantara.
“Kami berharap seminar ini menjadi awal yang baik bagi pertumbuhan ekonomi mendatang. Mari kita melangkah bersama menuju BPR yang lebih kuat, adaptif, dan berkelanjutan,” tutup Amitaba dengan penuh semangat.
Tantangan ke Depan dan Kebutuhan Relaksasi
Menanggapi hal tersebut, Dr. Roberto Akyuwen menyampaikan bahwa tantangan BPR ke depan masih berlimpah, mencakup isu-isu krusial seperti:
- Regulations – compliance
- Trust and governance
- Digital transformation
- Networking
Ia secara khusus menekankan perlunya memperbanyak networking agar BPR dapat menjalin kerja sama sebanyak-banyaknya. Di sisi makro, ia menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi memerlukan inflasi, namun pengendalian inflasi tetap menjadi kunci.
Sementara itu, Viraguna Bagoes Oka menyoroti pentingnya kehadiran pemerintah dalam merealisasikan harapan dunia usaha di Bali menjelang 2026. Ia mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperpanjang relaksasi capital charge industri perbankan di Bali, yang masih terdampak lanjutan Covid-19, setidaknya hingga tahun 2028.
Ia mengingatkan, industri perbankan dan lembaga keuangan di Bali wajib berbenah diri agar segera keluar dari permasalahan struktural dan memastikan rasio-rasio utama seperti LAR, NPL, RESTRU, CKPN, AYDA, dan CAR tetap dalam batas aman. Terakhir, dunia usaha dan pelaku usaha juga diwajibkan untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme berdasarkan azas bankabilitas.






