Bank Muamalat Klaim Layak sebagai Bank Haji dan Bank Wakaf Nasional

JAKARTA – Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama di Indonesia menyatakan kesiapannya untuk ditunjuk sebagai Bank Haji Nasional dan Bank Wakaf Nasional oleh pemerintah.

Bank syariah yang berdiri sejak 1922, Bank Muamalat memiliki rekam jejak historis yang kuat dan infrastruktur yang sudah matang. Dengan demikian Bank Muamalat mengklaim sebagai institusi yang paling sesuai untuk mengemban mandat dari pemerintah tersebut.

Direktur Utama Bank Muamalat, Imam Teguh Saptono, menegaskan kesiapan tersebut dalam Forum Policy Dialogue Bank Haji & Wakaf di Jakarta.

“Kalau bicara pilot project untuk Bank Haji dan Bank Wakaf secara nasional, saya yakin Bank Muamalat yang paling cocok. Karena sejak awal DNA-nya sudah memiliki karakteristik haji dan wakaf,” ujar Imam.

Bank Muamalat (BMI), lanjut Imam, memiliki modal historis yang tak terbantahkan. Bank ini didirikan atas semangat umat dan kontribusi langsung dari lebih dari 300 ribu jemaah haji Indonesia melalui pembelian saham perdana.

“Pendiri dan pemegang saham awalnya mayoritas berasal dari jemaah haji Indonesia. Artinya, Bank Muamalat lahir dari semangat keumatan dan kontribusi jemaah yang mengikhlaskan dananya,” jelasnya.

Menurut Imam, BMI lahir bahkan sebelum adanya Undang-Undang Perbankan Syariah (2008) dan Undang-Undang Wakaf (2004). Oleh karena itu, jika pemerintah mempertimbangkan pembentukan bank haji dan wakaf, akan jauh lebih efisien jika dikembangkan dari lembaga yang sudah ada dan memiliki DNA kuat di bidang tersebut.

Meskipun menyatakan siap, Imam menyoroti dua tantangan utama dalam mewujudkan bank dengan mandat khusus ini, pertama, Regulasi Aset Wakaf, Karakteristik aset wakaf yang tidak dapat dijaminkan menyulitkan proses pembiayaan dengan skema perbankan konvensional.

“Banyak aset wakaf yang potensial, tapi tidak bisa mendapatkan akses pendanaan formal karena status tanahnya wakaf. Ini yang perlu diselesaikan secara regulatif,” paparnya.

Kemudian yang kedua adalah Fungsi Bank Haji yang Lebih Luas. Konsep bank haji tidak boleh berhenti pada fungsi administratif seperti pendaftaran. Bank Haji harus diberi KPI khusus untuk mengembangkan ekosistem haji secara menyeluruh dan berdampak ekonomi, termasuk digitalisasi pembayaran yang terhubung dengan Arab Saudi.

“Belanja jemaah Indonesia di Tanah Suci sangat besar, belum lagi dari sisi supply chain seperti makanan hingga logistik. Indonesia seharusnya bisa berperan di situ,” tegasnya.

Imam menambahkan bahwa entitas perbankan sangat dibutuhkan sebagai mitra strategis BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) untuk membangun ekosistem haji yang terintegrasi, mengingat BPKH tidak dapat melakukan penghimpunan dana dan pembiayaan layaknya bank.

Senada dengan Imam, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Irfan Syauqi Beik, menilai bahwa secara regulasi, peluang penguatan lembaga eksisting (seperti BMI) untuk menjadi pengelola wakaf (nazhir) sangat besar.

Irfan mengusulkan langkah paling cepat dan efisien adalah menjadikan Bank Muamalat sebagai pilot project karena infrastrukturnya sudah siap.

“Tidak perlu membangun lembaga baru, cukup menambahkan ornamen atau mandat baru di Bank Muamalat. Biayanya tidak besar, waktunya lebih cepat, dan infrastrukturnya sudah siap,” pungkasnya.

Irfan juga menyarankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memasukkan fungsi sosial bank syariah sebagai indikator kelima dalam pengukuran tingkat kesehatan bank, di samping CAR, NPF, rentabilitas, dan likuiditas.

“Tidak perlu membangun lembaga baru, cukup menambahkan ornamen atau mandat baru di Bank Muamalat. Biayanya tidak besar, waktunya lebih cepat, dan infrastrukturnya sudah siap,” pungkas Irwan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *