SEMARANG – Meskipun pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah pada kuartal II-2025 melampaui nasional (5,28 persen vs. 5,12 persen), sektor perbankan di provinsi ini masih menghadapi sejumlah tantangan.
Hal tersebut diungkapkan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sophia Wattimena, dalam acara Evaluasi Kinerja Industri Jasa Keuangan di Jawa Tengah.
Menurut Sophia, OJK berkomitmen menjadikan industri jasa keuangan sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah.
Sophia menjelaskan, hingga Juli 2025, laju ekspansi kredit di Jawa Tengah hanya mencapai 1,8 persen, jauh di bawah rata-rata nasional. Selain itu, rasio kredit bermasalah (NPL) yang mencapai 5,94 persen menjadi sorotan, karena berpotensi menghambat penyaluran dana ke sektor riil.
Tantangan lainnya datang dari pemenuhan modal inti minimum.
“Sebanyak 20 BPR dan 5 BPRS di Jawa Tengah belum memenuhi standar yang ditetapkan,” kata Sophia.
OJK, kata dia, terus mendorong perbankan ini agar dapat memenuhi persyaratan tersebut.
Untuk mengatasi tantangan ini, OJK gencar mendorong penyaluran kredit yang lebih merata, khususnya ke Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 19 Tahun 2025 menjadi salah satu terobosan, yang bertujuan menyederhanakan persyaratan pembiayaan dan mempercepat proses bisnis.
“Langkah ini diharapkan bisa membuka keran kredit lebih lebar, sehingga UMKM bisa berkembang dan berkontribusi lebih besar pada PDB daerah,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, OJK juga aktif mendukung 11 program prioritas pemerintah, seperti pembiayaan UMKM, asuransi pertanian, dan program perumahan rakyat. OJK juga terus meningkatkan literasi keuangan melalui berbagai inisiatif, termasuk integrasi ke kurikulum sekolah dan pemanfaatan aplikasi digital untuk menjangkau masyarakat lebih luas.