JAKARTA – Sejumlah wilayah di Indonesia disebut-sebut sebagai daerah yang rawan dan marak aksi premanisme. Selain menghambat aktivitas manufaktur, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, fenomena ini juga berpengaruh buruk terhadap iklim bisnis dan investasi.
Wakil Ketua Umum Apindo, Sanny Iskandar dalam konferensi pers di Kantor Pusat Apindo, Jakarta Selatan, belum lama ini mengungkapkan, daerah industri yang paling terdampak aksi premanisme adalah Tangerang, Bekasi, Karawang, hingga Batam.
“Daerah Tangerang Banten, Bekasi, Karawang, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan daerah kantor baru seperti Subang dan juga di Batam, itu juga terkadang terjadi [aksi premanisme],” kata Sanny.
Gangguan keamanan yang terjadi di kawasan industri, menurut Sanny, persoalannya adalah disebabkan minimnya penyerapan tenaga kerja. Ia mengatakan, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) ikut memicu munculnya gangguan keamanan, termasuk aksi premanisme.
Upaya aparat pemerintah dalam menertibkan praktik semacam itu, menurut dia, belum cukup konsisten. Hanya cukup pada kegiatan operasi saja.
“Kalau ada operasi, ya rapi. Kalau tidak, ya kembali lagi,” katanya.
Kerugian akibat premanisme, dikatakannya, bukan hanya dirasakan langsung oleh pelaku usaha, tetapi juga berdampak pada potensi investasi yang batal masuk ke Indonesia akibat situasi keamanan yang tidak kondusif.
Hal senada diungkapkan Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani, yang mengungkapkan, bahwa aksi premanisme berdampak luas terhadap kegiatan ekonomi, baik dari sisi suplai maupun permintaan.
Ajib mengambil contoh, misalnya pungutan liar (pungli) di tingkat konsumen, seperti parkir tidak resmi, bisa menambah beban masyarakat dan menurunkan daya beli.
“Premanisme ini memang memengaruhi supply side dan demand side. Di supply side, ini menambah ongkos produksi. Tapi dari sisi demand, kalau kita mau belanja ke minimarket misalnya, tahu-tahu kita bayar parkir Rp2.000 padahal cuma beli minum, itu juga memengaruhi keputusan konsumen,” ujarnya.
Jika Indonesia ingin mendorong pertumbuhan ekonomi yang efisien dan kompetitif, Ajib menyarankan, maka pengurangan praktik premanisme harus menjadi bagian dari upaya menciptakan ekonomi berbiaya rendah (low cost economy).
“Premanisme ini, kerah biru maupun kerah putih, apapun bentuknya dalam konteks luas. Yang kita dorong adalah dalam skala yang lebih besar, yaitu mengurangi premanisme untuk mendorong low cost economy, sehingga competitiveness kita dalam konteks domestik juga bisa lebih meningkat,” kata Ajib.