OJK Sebut BPR-BPRS Masih Dibayangi Risiko Kredit dan Operasional

SEMARANG – Kinerja Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) hingga saat ini masih dibayang-bayangi risiko struktural. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan transformasi sektor jasa keuangan, maka tantangan ini memerlukan perhatian serius.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Tengah-DI Yogyakarta, Hidayat Prabowo, BPR saat ini menghadapi risiko kredit dan risiko operasional yang merupakan dua risiko utama.

Hidayat membeberkan bahwa penyaluran kredit oleh BPR dan BPRS di Jawa Tengah hingga hingga April 2025, tercatat mengalami kontraksi sebesar 2,75% (year-on-year/yoy), dengan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross 16,69%.

Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kata dia, penyaluran kredit tumbuh positif 2,50% (yoy), namun dengan tingkat NPL gross yang juga tinggi di angka 12,69%.

Secara umum, menurut Hidayat, kondisi sektor BPR di Jawa Tengah masih relatif stabil.

“Ada sekitar 330-an BPR dan BPRS yang beroperasi di wilayah Jawa Tengah. Mayoritas bank rakyat itu masih dalam kategori sehat, meskipun ada beberapa yang perlu penanganan khusus,” ungkap Hidayat.

Sebagai langkah mitigasi atas risiko yang membayangi sektor BPR dan BPRS, ia pun menekankan pentingnya percepatan pemenuhan modal inti minimum.

“Kita memang perlu komitmen yang lebih tinggi dari pemegang saham pengendali. Kaitannya dengan konsolidasi perbankan BPR dan BPRS. Itu sudah menjadi strategi utama OJK. Karena kami yakin bahwa itulah yang akan menguatkan industri BPR,” paparnya.

Hidayat menjelaskan, OJK terus mendorong penerapan prinsip Governance, Risk, dan Compliance (GRC) sebagai standar tata kelola industri keuangan. Salah satunya, diwujudkan melalui pembentukan Forum GRC, yang ditandai dengan kegiatan diskusi di Kota Semarang.

Hidayat mengungkapkan, diskusi berlangsung secara bauran itu diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta dari sektor jasa keuangan, baik secara daring maupun luring.

“Forum GRC akan difokuskan untuk mendorong stabilitas sektor jasa keuangan melalui tiga pilar utama. Yaitu, OJK sebagai otoritas dan regulator yang kredibel, industri jasa keuangan yang sehat, serta konsumen yang terliterasi dan terlindungi,” jelas Hidayat.

Tiga pilar ini kemudian dijabarkan menjadi tiga kebijakan utama yaitu tata kelola yang kuat, konsolidasi dan konglomerasi keuangan, serta penguatan integritas sektor keuangan.

Ia menambahkan, OJK menerapkan kebijakan itu secara tegas, bahwa seluruh fungsi itu sesuai dengan ketentuannya agar berjalan fungsinya.

“Ini untuk menjaga sektor jasa keuangan, perusahaan keuangan, bisa berjalan dengan sehat, tumbuh, stabil, dan melindungi masyarakat,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *