JAKARTA – Kabar terbaru diumumkan Presiden AS Donald Trump soal kenaikan tarif impor untuk Indonesia yang segera diiberlakukan, dinilai belum berdampak segnifikan pada pasar keuangan nasional.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menyebutkan, respons investor saat ini berbeda dengan saat Presiden AS Donald Trump pertama kali mengumumkan tarif pada 2 April lalu.
“Di tahap awal ini reaksi dari pasar keuangan berbeda dibandingkan dengan Maret dan April yang lalu. Pada saat ini relatif lebih terbatas dan mungkin masih lebih banyak mencerna terhadap apa yang terjadi,” ujar Mahendra dalam konferensi pers RDKB OJK Juni 2025.
Menurut OJK, pasar masih mencermati perkembangan kebijakan Trump hingga tarif sebesar 32 persen benar-benar diberlakukan efektif untuk Indonesia pada 1 Agustus mendatang. Potensi perubahan kebijakan ini membuat pasar cenderung lebih hati-hati dalam memberikan respons.
Untuk mengantisipasi dinamika kebijakan tarif Trump, OJK terus melakukan pemantauan cermat terhadap potensi dampak yang bisa memengaruhi stabilitas sektor jasa keuangan nasional.
Mahendra mengungkapkan bahwa OJK telah berkolaborasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menerapkan serangkaian kebijakan antisipatif dan mitigatif yang masih berlaku. Kebijakan ini dapat diberlakukan sewaktu-waktu jika diperlukan.
Beberapa langkah yang telah disiapkan antara lain kebijakan terkait pengelolaan investasi, stimulus dan relaksasi bagi pelaku industri, serta pelaksanaan pembelian kembali (buyback) saham oleh emiten tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Selain itu, ada juga kebijakan penundaan implementasi pembiayaan transaksi short selling oleh perusahaan efek, serta penerapan fitur asymmetric auto rejection (AAR) di BEI. Fitur AAR ini berfungsi untuk meredam gejolak harga yang tidak mencerminkan nilai fundamental pasar.
“Diharapkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah itu tetap akan menjaga kepercayaan investor, mendukung fungsi intermediasi pasar secara optimal, dan memastikan stabilitas sistem keuangan yang terjaga baik sekalipun berhadapan dengan kondisi eksternal yang terjadi,” kata Mahendra.
Di samping langkah-langkah kebijakan tersebut, OJK juga telah menginstruksikan seluruh lembaga jasa keuangan di Indonesia untuk proaktif dalam melakukan asesmen risiko. Lembaga-lembaga ini juga diwajibkan melakukan stress test secara berkala atas ketahanan permodalan dan kecukupan likuiditas.
Tidak hanya itu, lembaga jasa keuangan juga perlu memantau kinerja debitur di sektor-sektor yang berpotensi terdampak dari penerapan tarif impor oleh AS.
“Tentu semua itu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko serta tata kelola yang baik yang juga harus terus dilakukan oleh lembaga jasa keuangan dalam menjalankan bisnisnya,” pungkas Mahendra.
Sebagai informasi, Presiden Trump telah mengumumkan hasil akhir negosiasi tarif dengan 14 negara lewat unggahan di Truth Social. Bangkadesh dan Serbia tertinggi, sementara Indonesia masuk daftar dengan tarif impor 32 persen. Tarif baru akan berlaku mulai 1 Agustus 2025.
Selain Indonesia, negara lain dalam daftar tersebut yaitu Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Kazakhstan, Afrika Selatan, Laos, dan Myanmar. Trump juga menyebut Bosnia dan Herzegovina, Tunisia, Bangladesh, Serbia, Kamboja, dan Thailand. Tarif ditetapkan bervariasi. Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Kazakhstan, dan Tunisia dikenai 25 persen. Afrika Selatan dan Bosnia dikenakan 30 persen.
Bangladesh dan Serbia ditetapkan 35 persen. Kamboja dan Thailand 36 persen. Laos dan Myanmar terkena tarif tertinggi, 40 persen.