JAKARTA – Di tengah tekanan perekonomian domestik dan perang dagang global, diperkirakan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan Indonesia untuk sektor UMKM makin meningkat.
Prediksi ini diungkapkan Lembaga pemeringkat kredit internasional S&P Global Ratings.
Financial Institution Ratings Director S&P Global, Nikita Anand menilai, tarif dagang yang diterapkan Amerika Serikat (AS), dampaknya relatif kecil terhadap portofolio perbankan Tanah Air.
Hal tersebut, menurut Nikita, disebabkan karena tarif dagang itu cenderung menyasar pada nasabah perusahaan berorientasi ekspor yang jumlahnya hanya sekitar 2,5% dari total portofolio.
Nikita menyampaikan hal itu dalam seminar secara daring, Rabu (11/6/2025).
Ia mengatakan, dampak tidak langsung terhadap pola konsumsi domestik, yang justru perlu diwaspadai, terlebih lagi jika ketegangan perang dagang meningkat. Pasalnya, sektor UMKM dinilai memiliki penyangga keuangan yang lebih tipis dibandingkan sektor lain.
“UMKM lebih terpengaruh selama periode tekanan ekonomi, dan mereka pada umumnya kurang terdiversifikasi. Jadi, di segmen tertentu, mereka sedikit kesulitan untuk membayar kembali pinjaman mereka,” katanya
Dia memaparkan, proyeksi S&P Global Ratings mengenai peningkatan rasio NPL UMKM dalam beberapa tahun ke depan akan berasal dari potensi tekanan terhadap debitur skala usaha kecil. Skala usaha mikro disebutnya telah tertekan sejak awal pandemi Covid-19 silam.
,
Tekanan ini, kata dia, juga bergantung pada struktur kredit masing-masing bank hingga perusahaan teknologi finansial (fintech) yang saat ini banyak berkecimpung membiayai UMKM melalui layanan buy now pay later (BNPL).
“Kami melihat risiko [penurunan] kualitas aset yang lebih tinggi pada bank-bank regional yang lebih kecil dan pada pelaku fintech,” tutur Nikita.
Selain itu, pihaknya menyebut bahwa risiko ini juga mengintai bank jumbo yang memiliki eksposur lebih tinggi pada skala usaha mikro. Dia lantas membandingkan risiko kredit pada bank penguasa segmen UMKM Tanah Air, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) alias BRI, dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) yang memiliki porsi kredit UMKM lebih kecil.
“Risiko pinjaman Bank Mandiri berada pada kisaran 4% hingga 5%, sedangkan angka Bank Rakyat Indonesia mendekati 8% karena beberapa pinjaman yang berulang kali direstrukturisasi di segmen mikro sangat sulit diatasi sejak awal Covid-19,” tuturnya.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) melalui buku Kajian Stabilitas Keuangan No. 44 mencatat bahwa rasio NPL perbankan pada Desember 2024 turun ke angka 2,08%, dari sebelumnya 2,19% pada Desember 2023. Namun, sektor UMKM mengalami kenaikan kredit bermasalah dibandingkan sektor ekonomi lainnya.
Hal ini dipengaruhi oleh sektor Pertanian dan Perdagangan yang mayoritas didominasi oleh UMKM. NPL sektor pertanian naik dari 2% pada 2023 menjadi 2,04% pada 2024. Jumlah kredit bermasalah sektor ini mencapai Rp11,07 triliun dibandingkan nominal kredit yang sebesar Rp543,57 triliun pada akhir tahun lalu.
Sementara itu, NPL sektor perdagangan stagnan pada level 3,24%. Jumlah kredit bermasalah dan nominal kredit sektor ini masing-masing sebesar Rp42,95 triliun dan Rp1.324,21 triliun pada 2024.
Dengan demikian, dibandingkan segmen lain seperti konsumsi, komersial, dan korporasi, kredit segmen UMKM mengalami peningkatan NPL tertinggi dari 3,71% pada 2023 menjadi 3,76% pada 2024.
“Hal ini disebabkan oleh penyesuaian kualitas kredit UMKM setelah berakhirnya relaksasi restrukturisasi Covid-19,” jelas BI.