JAKARTA – Sejumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) kembali dianugerahi pernghargaan atas kinerjanya. Penghargaan dalam ajang “The Finance Top 100 BPR 2025” itu diberikan kepada ratusan BPR dari seluruh Indonesia, di Merlyn Park Hotel Jakarta pada Jumat, 20 Juni 2025.
Penghargaan ini diberikan setelah The Finance melakukan penilaian komprehensif terhadap 1.377 BPR berdasarkan kinerja mereka dari September 2021 hingga September 2024.
Dari penilaian ketat tersebut, terpilih 286 BPR yang berhasil masuk dalam daftar “The Finance Top 100 BPR 2025”. BPR-BPR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan besaran aset:
- 121 BPR dalam kategori aset Rp100 miliar ke atas.
- 107 BPR dalam kategori aset Rp35 miliar hingga di bawah Rp100 miliar.
- 58 BPR dalam kategori aset Rp5 miliar hingga di bawah Rp35 miliar.
Selain itu, 28 BPR juga menerima “The Finance Top 100 BPR Golden Award 2024” karena berhasil mempertahankan kinerja terbaik mereka dalam daftar Top 100 BPR versi The Finance selama lima tahun berturut-turut. Ada juga penghargaan “The Finance Special Award” yang diberikan kepada BPR dengan pencapaian istimewa.
Terhadap prestasi yang berhasil diraih BPR-BPR tersebut, Chairman The Finance Eko B. Supriyanto menyampaikan, bahwa BPR dituntut harus lincah memanfaatkan peluang-peluang baru disaat menghadapi berbagai tantangan dalam mengembangkan industry perbankan.
Terutama, kata Eko, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ia mencontohkan misalnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Koperasi Merah Putih.
“Ini menjadi peluang baru bagi BPR untuk bisa tetap tumbuh di tengah tantangan yang ada. Agar bisa mampu bersaing, salah satunya dengan fintech,” jelas Eko.
Kepada industri BPR, Eko mengingatkan, agar beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi dan perkuat tata kelola. Menurut dia, ini menjadi penting, karena menurut studi Infobank, ditutupnya sebagian BPR bukan karena persaingan, melainkan tata kelola yang kurang baik.
“Sebenarnya bukan karena mereka kalah bersaing, tetapi karena tata kelola. Terakhir, saya berpesan juga mengenai teknologi informasi, karena zaman sekarang rasanya penting teknologi informasi,” ujar Eko.
Mesku demikian, Eko tetap mengapresiasi kinerja industri BPR Tanah Air. Penghargaan kepada BPR. Penghargaan melalui The Finance Top 100 BPR 2025 ini bisa dijadikan suntikan motivasi agar tetap tumbuh dan berkontribusi terhadap ekonomi daerah.
“Kami memberikan penghargaan ini, dengan data yang kami olah sudah diuji di pasar maupun dalam diskusi kita. Sekali lagi selamat kepada pemenang,” jelasnya.
Sementara Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengatakan dalam kesempatan tersebut menyampaikan, bahwa BPR dan BPRS akan terus didorong untuk melakukan konsolidasi guna memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan daya saing industri.
Ia membeberkan, hingga pertengahan Juni 2025, sebanyak 261 BPR/BPRS telah mengajukan izin konsolidasi. Langkah ini sejalan dengan ketentuan OJK yang diatur dalam POJK Nomor 21 Tahun 2019 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan BPR/BPRS serta POJK Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR.
Dari total 261 BPR/BPRS yang mengajaukan izin konsolidasi, lanjut Dian, sebanyak 109 bank telah menyelesaikan prosesnya, 7 bank masih dalam tahap evaluasi di OJK, dan 34 bank sedang dalam proses di Kementerian Hukum.
“Dari total yang mengajukan izin konsolidasi, jumlah bank menyusut sebanyak 91 BPR/BPRS,” jelas Dian.
Dari Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) sendiri, disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Perbarindo I Gede Hartadi, industri BPR dan BPRS di Tanah Air sudah banyak berbenah dengan melakukan transformasi melalui layanan digital. Pasalnya, menurut dia, tranformasi digital kini menjadi strategi baru berbisnis.
Dia menambahkan, dirinya mengingatkan para BPR, bahwa tranformasi bukan sekadar mendigitalisasi produk, tapi mengubah pola pikir dan solusi menjadi digital sesuai perilaku dan kebutuhan masyarakat.
“Langkah ini juga dilakukan untuk mengubah anggapan klasik yang menyebut industri BPR/BPRS terbilang kaku lantaran terbentur sistem dan regulasi ketat,” pungkasnya.