JAKARTA – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menanggapi penilaian Bank Dunia yang menyebutkan bahwa lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tergolog miskin. Angka tersebut, jika dihitung menggunakan standar negara berpendapatan menengah ke atas.
Dilansir dari media Kompas, Kamis (1/5/2025) dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia mencatat bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024, hidup dengan pengeluaran kurang dari 6,85 dollar AS per kapita per hari dalam Purchasing Power Parity (PPP) 2017.
Bank Dunia menetapkan ambang batas kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas dengan pengeluaran sebesar 6,85 dollar AS per kapita per hari. Adapun kurs yang digunakan Bank Dunia adalah kurs PPP (Purchasing Power Parity) tahun 2017, yang berarti sekitar Rp 41,052 dengan asumsi Rp 5.993,03 per dollar AS.
Menanggapi hal ini, Amalia Adininggar Widyasanti mengimbau masyarakat dan semua pihak agar memahami secara cermat angka kemiskinan Indonesia yang dirilis Bank Dunia tersebut.
Dalam keterangannya Rabu, 30 April 2025 kemariin, Amalia menegaskan bahwa angka 60,3 persen yang disebut Bank Dunia tidak bisa disamakan begitu saja dengan perhitungan nasional Indonesia karena menggunakan standar dan metodologi berbeda.
“Kita perlu bijak dalam memaknai angka yang disampaikan oleh Bank Dunia mengenai kemiskinan yang 60,3 persen itu,” ujar Amalia dalam keterangannya seperti dikutip Presidenri.go.id.
Angka tersebut, lanjut Amalia, didasarkan pada standar upper middle class Bank Dunia, yaitu sebesar 6,85 USD per kapita per hari dalam Purchasing Power Parity (PPP) dengan tahun dasar 2017. Oleh karena itu, nilai tukarnya tidak bisa langsung dikonversi ke kurs saat ini.
“Artinya, kita tidak bisa langsung mengonversi dengan nilai tukar saat ini, karena itu adalah nilai tukar PPP dengan base year 2017, makanya angka konversinya akan berbeda,” jelasnya.
Bank Dunia, kata Amalia, tidak mewajibkan penerapan garis kemiskinan global oleh seluruh negara. Sebaliknya, masing-masing negara dianjurkan untuk menetapkan garis kemiskinan nasional yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi setempat.
“Global poverty line yang ditetapkan oleh Bank Dunia itu tidak sekonyong-konyong harus diterapkan oleh masing-masing negara karena secara bijak tentunya masing-masing negara itu harus bisa memiliki national poverty line yang diukur sesuai dengan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut,” tuturnya.
Ia menjelaskan, penghitungan angka kemiskinan di Indonesia, dilakukan berdasarkan garis kemiskinan di setiap provinsi, yang mencerminkan perbedaan standar hidup antardaerah. Data dari seluruh provinsi kemudian diakumulasi menjadi angka kemiskinan nasional.
“Standar hidup di Provinsi DKI tidak akan sama dengan standar hidup misalnya di Provinsi Papua Selatan. Dan Provinsi DKI maupun Provinsi Papua Selatan memiliki garis kemiskinan yang berbeda-beda,” kata Amalia.
Ditegaskannya lagi, bahwa angka kemiskinan dari Bank Dunia sebaiknya dijadikan referensi semata, bukan acuan utama dalam penentuan kebijakan nasional.
“Dengan demikian, mari kita lebih bijak untuk memaknai dan memahami angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia karena itu bukanlah suatu keharusan kita menerapkan, tetapi memang itu hanya sebagai referensi saja,” pungkasnya.