JAKARTA – Harus diakui bahwa pemanfaatan kecerdasan buatan Artificial Intelligence atau AI dalam sektor keuangan menjadikan sistem lebih efisien dan banyak inovasi.
Namun, seiring dengan itu, AI juga memunculkan risiko baru lainnya, mulai dari serangan siber, hingga penipuan digital berbasis deepfake yang semakin canggih.
Dalam acara IBM Tech Innovation Experience di Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025 kemarin, Deputi Komisioner Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Anung Herlianto mengungkapkan bahwa kejahatan berbasis AI, kini menjadi tantangan utama bagi berbagai sektor perusahaan khususnya sektor perbankan.
“AI, memang membuat pekerja lebih efisien, tapi masalahnya adalah AI juga membuat penjahat lebih efisien,” ungkap Anung
Ribuan serangan siber ke sistem keuangan, lanjut Anung, terjadi setiap hari dengan nasabah menjadi titik terlemah dalam jaringan keamanan perbankan.
Ia mengatakan, ketika terjadi kerugian finansial, pihak bank yang dituding.
“Bank selalu disalahkan ketika ada financial loss, padahal celah bisa saja dari koneksi ke ekosistem digital yang tidak teregulasi,” jelas Anung.
Anung menjelaskan, beberapa metode kejahatan yang kerap digunakan adalah, social engineering, reverse social engineering, dan deepfake. Kasus terbaru di Hong Kong menunjukkan bagaimana seorang scammer menggunakan video deepfake untuk meniru CFO perusahaan dan menipu staf keuangan agar mentransfer dana.
“Bahkan Elon Musk dan Joe Biden pun menjadi korban deepfake. Jadi ini bukan lagi hal fiksi. Fraudster sudah sangat advance dalam memanfaatkan teknologi ini,” kata Anung.
Anung mencontohkan, tantangan ‘black box AI’ yang sulit diawasi. Sistem AI bekerja secara otonom dan kompleks, sehingga tak jarang bahkan pengembangnya pun tidak sepenuhnya memahami cara kerja sistem yang telah dibuatnya. Hal ini, menurut dia, memperbesar risiko bias, diskriminasi, dan kerentanan data.
“Masalah bias gender, diskriminasi lokasi, hingga keputusan kredit yang tidak adil juga muncul karena algoritma yang tidak transparan. Itu mengapa governance dan transparansi menjadi penting,” katanya.
Menurut dia, untuk menghadapi risiko-risiko ini, OJK telah menerbitkan panduan tata kelola AI yang bersifat prinsipil, yang menekankan pentingnya peran dewan direksi dan komisaris dalam memahami siklus hidup AI dan mengawasi implementasinya secara menyeluruh.
Anung mengingatkan inklusi keuangan yang meningkat tidak dibarengi dengan literasi digital yang memadai, terutama di kalangan lanjut usia.
“Digital literasi selalu datang terlambat. Sering kali yang punya uang banyak justru minim literasi digital, dan itu menjadi sasaran empuk para pelaku penipuan,” katanya.
Upaya lainnya, masih dijelaskan Anung, OJK mengajak semua pihak untuk bergerak bersama dalam menghadapi tantangan tersebut, mengingat teknologi bersifat tak terhentikan sehingga regulator dan pelaku industri harus bergerak searah. Jika tidak, ia menilai, nasabah bisa saja beralih dan menggantikan mereka.
“Teknologi itu unstoppable. Kita harus berjalan di arah yang sama, baik regulator maupun pelaku industri. Kalau tidak, nasabah akan mengganti kita,” pungkasnya.