JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menunjukkan sikap terbuka dalam potensi kerja sama sistem pembayaran digital dengan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat terkait penggunaan QRIS.
Hal ini ditegaskan oleh Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, yang menyatakan bahwa kesiapan kedua belah pihak menjadi kunci utama.
Pernyataan ini merupakan respons BI terhadap isu hambatan dagang yang diangkat AS, yang salah satu poinnya menyinggung sektor keuangan, termasuk implementasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Menurut Destry, peluang kerja sama dalam sistem pembayaran digital seperti QRIS maupun fast payment sangat bergantung pada kematangan infrastruktur dan regulasi di masing-masing negara. Indonesia sendiri tidak memiliki batasan dalam menjalin kolaborasi dengan negara mana pun di bidang ini.
“Kuncinya adalah kesiapan. Jika Amerika Serikat siap untuk berkolaborasi dalam QRIS, Indonesia pun demikian. Tidak ada alasan untuk menolak kerja sama,” kata Destry pada Selasa (22/4).
Destry juga menyinggung dominasi alat pembayaran non-tunai asal AS seperti kartu kredit Visa dan Mastercard di Indonesia sebagai bukti bahwa tidak ada hambatan yang signifikan dalam transaksi keuangan.
“Dominasi kartu kredit Visa dan Mastercard di Indonesia hingga saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada isu hambatan yang perlu dipermasalahkan,” jelasnya.
Dilansir dari media Antara, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) sebelumnya merilis daftar hambatan perdagangan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Mengutip dokumen USTR, salah satu yang disoroti oleh AS yakni penggunaan QRIS melalui penerbitan Peraturan BI No. 21/2019.
“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada,” tulis USTR dalam dokumennya.
Selain QRIS, AS juga menyoroti sejumlah hal lainnya yang dinilai menjadi hambatan perdagangan termasuk penerapan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Indonesia melalui Peraturan BI No. 19/08/2017.
“Peraturan tersebut memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN, yang melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik,” tulis USTR.
AS juga menyoroti Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 yang mengamanatkan perusahaan asing untuk membentuk perjanjian kemitraan dengan penyedia switching GPN Indonesia yang berizin untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN.
Dalam dokumennya, AS mencatat perjanjian kemitraan yang harus disetujui oleh BI dan persetujuan juga mempertimbangkan apakah perusahaan mitra asing terkait mendukung pengembangan industri di Indonesia, termasuk melalui transfer teknologi.