JAKARTA – Ombudsman RI menyoroti penurunan harga ayam broiler (ras/ayam potong) yang terjun bebas. Bahkan, di tingkat peternak, harga jual dilaporkan telah menyentuh angka Rp9.000 per kilogram.
Sementara data Badan Pangan Nasional (Bapanas), mencatat, harga ayam hidup (live bird) di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jabodetabek saat ini berkisar antara Rp13.200 hingga Rp14.400 per kilogram berat hidup.
Ombudsman menilai, angka ini jauh di bawah titik impas (Break Even Point/BEP) yang berada di sekitar Rp19.000 per kilogram, bahkan lebih rendah dibandingkan Harga Acuan Penjualan (HAP) yang ditetapkan sebesar Rp25.000 per kilogram.
Anjloknya harga ini, menurut anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika, dipicu oleh adanya maladministrasi. Karena itu, Yeka mendesak pemerintah segera bertindak.
“Ombudsman tidak berperan sebagai pengamat harga ayam. Namun, kami turut menyoroti permasalahan ini karena sudah berkaitan dengan pelayanan publik,” ujar Yeka, Kamis (24/4.
Ombudsman, kata Yeka, menerima keluhan langsung dari para peternak ayam di Jawa Barat beberapa minggu lalu. Mereka melaporkan penurunan harga ayam yang terjadi setelah Hari Raya Idulfitri, disertai dengan data-data pendukung.
“Perhitungan kami menunjukkan bahwa jika populasi ayam peternak hanya 10 persen saja, kerugian yang mereka alami dapat mencapai Rp80 miliar per minggu. Situasi ini diperkirakan akan terus berlangsung hingga akhir Mei,” jelasnya.
Yeka juga menjelaskan, terdapat dua isu utama yang menjadi perhatian terkait anjloknya harga daging ayam potong.
Pertama, pemberian layanan administratif berupa kuota impor ayam GPS (grand parent stock) yang turut menambah pasokan ayam di pasar domestik. Kedua, lemahnya fungsi pengawasan dan pengendalian produksi oleh pemerintah.
“Harga ayam yang sudah berada di bawah HAP mengindikasikan bahwa pengawasan belum berjalan efektif. Padahal, pemerintah telah menetapkan harga acuan. Mengapa tidak ada tindakan yang diambil?” tanyanya.
“Ini berpotensi menjadi maladministrasi dalam hal pengawasan distribusi dan pengendalian produksi ayam oleh pemerintah,” tegasnya.
Oleh karena itu, Ombudsman RI mendesak pemerintah, terutama Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), untuk segera melakukan intervensi pasar. Salah satu solusi mendesak yang diusulkan adalah melakukan penyerapan ayam dari peternak.
“Jika tidak ada penyerapan, harga akan terus terpuruk seperti ini,” kata Yeka.
Ia juga menyarankan agar pemerintah melibatkan pelaku usaha swasta dalam program penyerapan jika pemerintah belum mampu melaksanakannya secara mandiri.
Yeka menekankan bahwa pemerintah seharusnya dapat melakukan antisipasi berdasarkan data yang telah mereka miliki.
“Permintaan live bird per minggu berkisar antara 60-65 juta ekor. Jika data hatching record-nya sudah melebihi angka tersebut, seharusnya ini menjadi peringatan dini untuk segera melakukan intervensi,” jelasnya lebih lanjut.
Yeka juga menyayangkan tidak adanya program penyerapan ayam yang serupa dengan program penyerapan gabah atau beras.
“Untuk beras, kita memiliki Bulog di mana pemerintah memiliki program untuk menyerap gabah dari petani. Namun, program serupa yang prudent belum ada untuk komoditas ayam,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan pentingnya peningkatan kompetensi pengawasan oleh pemerintah.
“Sejak tiga tahun lalu, kami telah mengingatkan bahwa fungsi pengawasan harus ditingkatkan. Jangan sampai breeding company terus memacu produksi tanpa memperhatikan kebutuhan pasar,” pungkas Yeka.